“Iman Standar, Islam Biasa, Masuk Surga, Alhamdulillah”
Suatu hari, ada
seseorang bertanya kepada saya,
“Sob, Jadi orang islam itu yang biasa-biasa ajalah, gausah ekstrim-ekstrim banget”
“Sob, Jadi orang islam itu yang biasa-biasa ajalah, gausah ekstrim-ekstrim banget”
Awalnya saya hanya
bisa tersenyumin, sebelum akhirnya saya tanya lebih lanjut,
“Maksudnya jadi islam
biasa dan islam ekstrim itu gimana ya bro ?”
"Iya itudeh bro,
"Kalo mau salaman sama cewek, ya biasa aja, salaman aja, gak usah kayak gini
*mencontohkan cara menolak jabat tangan dengan mempertemukan kedua telapak
tangan*. Lebay banget.
Terus belum lagi, kalo
cewek mau pakai jilbab yaa biasa-biasa aja, gak usah sampe lebar-lebar banget,
panjang-panjang, tangan harus ketutup semualah, ada yang cadaran pula. Yaa agak
fashion trendy gitu lah bro, jangan saklek banget."
*dan beberapa contoh
lain*
Yang terlintas dalam
pikiran saya—dan mungkin pikiran anda yang sedang membaca ini,
“Apa iya, cukup ‘islam
biasa-biasa aja’ ?”
“apa iya punya iman
cukup yang standar-standar aja ?”
Apakah cukup, untuk
perkara akhirat yang lebih besar, lebih kekal, lebih panjang perjalanannya,
kita ngakunya “standar-standar aja” ?
Jika kita cukup punya
“iman standar”, maka sebenarnya, standar apa atau standar siapa yang harus kita
gunakan ?
Untuk kita
yang sudah lama bergulat dengan sebongkah permasalahan dunia, sepatutnya
langsung tersadarkan. Bahwa sebenarnya, kita tidak pernah menggunakan “kualitas
standar” dalam urusan dunia kita.
Contoh saja,
sewaktu duduk di bangku sekolah, kita selalu berlomba mendapatkan nilai
tertinggi. Meloncat ke bangku kuliah, kita selalu berusaha mengukir IPK
tertinggi, cumlaude/Summa cumlaude menjadi hiasan yang sangat dibanggakan dan diidamkan.
Berlanjut ke masa pencarian kerja, kita selalu berlatih, berpakaian terbaik,
perkataan terbaik, pengorbanan waktu terbanyak, untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak, bahkan pekerjaan terbaik dan diimpikan. Semuanya, terhubungkan dengan
kalimat “terbaik”. “Terbaik” usahanya, keringatnya, waktunya, dan
segala-galanya. KENAPA ? simple, karena hanya yang terbaik yang akan mendapatkan
apa yang diinginkan.
Lalu,
tidakkah kita tersadar…
Jika untuk urusan
Dunia saja kita sepantasnya berlaku totalitas, mengenakan pakaian khusus saat
berangkat sekolah/berangkat kerja, melakukan tindakan secara profesional—datang
harus tepat waktu bahkan sebelum waktu masuk harus sudah hadir, kondisi badan
dalam keadaan fit, berkata dengan tutur yang ramah—kalau nggak ramah nanti
dimarahin bos atau pak guru, atau atasan lainnya , dan tidak lupa, membaca buku
panduan/standard Operating Procedure (SOP) yang dirancang sedemkian rupa, harus
ngikutin apa kata bos. Belum lagi harus selalu update ilmu, lewat pelatihan,
training course, seminar, dan semacamnya. Tentunya, ini SANGAT menyita waktu
kita.
Tapi hebatnya, kita tidak pernah mengeluh…
Kita tidak pernah
mengeluh, kenapa sih saya harus mengikuti peraturan kantor/sekolah ? kenapa sih
saya harus pakai seragam sekolah/kantor ? Kenapa saya harus Sehat sewaktu
ngantor ? Kenapa saya harus datang pagi, pulang sore, kenapa saya…bukan orang
lain ?
Semua untuk kesenangan dan kepentingan Dunia.
Maka, Jika untuk
perkara dunia saja kita manut-manut wae, ngikutin semua peraturan yang ada,
All-out untuk menjadi yang terbaik di kantor/sekolah, adalah sebuah pertanyaan
besar, mengapa kita Cuma mau “standar aja” untuk perkara akhirat ?
Mengapa kita banyak mengeluh untuk sekedar shalat saja ?
Mengapa selalu ada alasan untuk malu, untuk tidak melaksanakan syariat (peraturan) Allah Azza wa Jalla ?
Selalu ada alasan untuk mengenakan Hijab/Jilbab/Khimar..
Selalu ada alasan untuk datang ke masjid saat adzan terdengar di angkasa.
selalu ada alasan untuk absen dari membaca Qur’an
Jika anda selalu meng-update ilmu untuk keseharian anda, untuk kantor, untuk “masa depan” duniawi anda, lalu KAPAN ANDA MENG-UPDATE ILMU AKHIRAT ANDA ?
Nyatanya…
Selalu ada alasan untuk menomorduakan pelajaran Agama.
Selalu ada alasan untuk menunda membeli buku Ilmu Agama entah itu dari yang paling dasar hingga Sirah Nabawiyah, Ushul Fiqh,
Selalu ada alasan untuk bacaan Qur’an kita yang “ala kadarnya”.
Selalu ada alasan untuk Hafalan Qur’an kita yang berkutat di “Tri Qul”.
Selalu ada saja keluhan disaat anda membayar zakat.
Selalu ada alasan untuk menomorduakan pelajaran Agama.
Selalu ada alasan untuk menunda membeli buku Ilmu Agama entah itu dari yang paling dasar hingga Sirah Nabawiyah, Ushul Fiqh,
Selalu ada alasan untuk bacaan Qur’an kita yang “ala kadarnya”.
Selalu ada alasan untuk Hafalan Qur’an kita yang berkutat di “Tri Qul”.
Selalu ada saja keluhan disaat anda membayar zakat.
Mengapa kita selalu
MENGELUH untuk MASUK SURGA ?
DIMANAKAH
GHIRAH—semangat-- UNTUK MENGGAPAI
KEBAHAGIAAN ABADI ?
Nyatanya, kita lebih
Takut “Dimarahin Bos” dari “Dimarahin Allah"
Kita lebih mengedepankan alasan untuk “masuk” ke seluk beluk urusan dunia, daripada memikirkan,
bahwa, nantinya tindakan kita terhadap agama yang “standar” ini menjadi alasan
Allah untuk tidak memasukkan kita ke Surga-Nya…
Q1 : “Yah kan malu,
orang sekitar saya gak ada yang begitu sob”
Wahai sahabatku,
Jika anda harus
malu,dan memang Pantas untuk merasa malu, seharusnya anda merasa MALU terhadap
diri anda sendiri yang mengharapkan surga, tapi tidak mengerjakan amalan-amalan
Ahli Surga.
Terlebih Lagi,
Seharusnya anda MALU, kepada siapa ? Kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam. Kenapa ?
Seharusnya anda MALU, kepada siapa ? Kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam. Kenapa ?
Disaat Rasulullah
berjuang menyebarkan Syiar Agama ini…
di saat beliau diusir dari kampung halaman tempat kelahirannya..
di saat seluruh kaumnya memboikot usaha dagangnya..
di saat seluruh kabilahnya mengejek dengan kata “Gila”, “Pendongeng dan Pengarang”, “Penyihir”, dan ejekan lainnya.
di saat beliau diusir dari kampung halaman tempat kelahirannya..
di saat seluruh kaumnya memboikot usaha dagangnya..
di saat seluruh kabilahnya mengejek dengan kata “Gila”, “Pendongeng dan Pengarang”, “Penyihir”, dan ejekan lainnya.
TAPI, TIDAK ADA
satupun alasan terlisan dari Lisan Beliau Shalallahu’alaihi wasalam.
Sedangkan anda ?
Anda hanya
mementingkan perkataan manusia yang tidak lebih benar dari Janji Allah Azza wa
Jalla
Anda hanya mendengarkan ocehan orang yang tidak lebih mulia dari Hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam ?
Anda hanya mendengarkan ocehan orang yang tidak lebih mulia dari Hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam ?
MALULAH TERHADAP DIRI ANDA SENDIRI DISAAT KELAK KITA SEMUA BERSIMPUH DI HADAPAN ALLAH, ALASAN APALAGI YANG DAPAT ANDA LONTARKAN DIKALA ITU ?MALULAH KEPADA RASULULLAH YANG TELAH BERJUANG MENYAMPAIKAN RISALAH AGAMA ISLAM INI..
Q2 : “Yah itu kan
jaman Rasul, Jaman dulu, Kita udah di “Jaman Now” ini sob. Gak bisa lah
ngikutin yang dulu.
Jika “Jaman Rasul”
yang anda masksud adalah..
Mereka yang Tidak pernah tertinggal shalatnya di belakang Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam.
Mereka yang mengorbankan Jiwa, Raga, Harta dan tetesan darahnya untuk Islam,
Mereka yang Tidak pernah tertinggal shalatnya di belakang Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam.
Mereka yang mengorbankan Jiwa, Raga, Harta dan tetesan darahnya untuk Islam,
Jika adalah Mereka yang menangis ketika tertinggal SATU RAKAAT—bahkan tertinggal Takbir bersama Rasulullah.
Wahai sahabatku, jika
saja mereka yang hidup berdampingan dengan Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam
MASIH ada yang DIKATAKAN TIDAK MASUK SURGA…
Lalu, dengan kapasitas
anda, anda “menggampangkan” diri untuk ‘booking’ Surga, percaya diri dengan
amalan anda yang sekarang, dan menganggap remeh mereka yang berjuang di awal
Masa perjuangan Rasulullah shallahu’alaihi wasalam..
Dan yang lebih penting
lagi, mengatakan,
Bahwa Syariat ini HANYA untuk mereka yang hidup di Zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam..
Bahwa Syariat ini HANYA untuk mereka yang hidup di Zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam..
Apakah anda juga siap
menerima, Jika Surga HANYA UNTUK MEREKA YANG HIDUP DI ZAMAN RASULULLAH ?
Malu-lah wahai
sahabatku..
Malu-lah dengan
kualitas Iman dan Ibadah kita yang sangat jauh dari mereka yang dijanjikan
Surga.
Takutlah…
Jika ketika
saatnya kita meninggalkan dunia ini, ternyata tidak ada yang bisa kita bawa
melainkan rasa malu, merunduk meratapi nasib, disaat yang ratapan menjadi tak
ada gunanya lagi, ingin sekali kembali beramal… tapi di hari itu, tidak ada
lagi kesempatan untuk kembali beramal.
Menangislah, Pantaskah
Surga memanggil nama mu ?
Kembali lah wahai
saudaraku…
Kembali-lah dengan segenap Iman layaknya mereka yang berperang di Perang Badr.
Kembali-lah dengan segenap Amalan seperti mereka yang tak pernah lepas menyertai sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Sebelum kita semua kembali kepada-Nya…
Kembali-lah dengan segenap Iman layaknya mereka yang berperang di Perang Badr.
Kembali-lah dengan segenap Amalan seperti mereka yang tak pernah lepas menyertai sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Sebelum kita semua kembali kepada-Nya…
Tanyakan kembali,
“Jika aku harus mati sekarang, Layakkah aku masuk Surga dengan segenap Iman dan Amalku hari ini ?”
“Jika aku harus mati sekarang, Layakkah aku masuk Surga dengan segenap Iman dan Amalku hari ini ?”
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah:
"Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
(QS. Ali Imran [3] :
30-31)
-Muhamad Ikhsan Nurmansyah, dr.